Nisab antara takdir dan nasib adalah ittihadu Al-ma’na, ikhtila fi Al-I’tibar,
artinya satu maknanya berlainan arah pandangnya.
Suatu contoh
si Zaid adalah seorang pegawai negeri. “Kepegawai negerian” dipandang bahwa ia
meruapakan ketentuan dan perbuatan Allah yang tak dapat di bantah, maka ia
dikatakan takdir. Dan apabila
dipandang dari sudut keadaan diri si Zaid sendiri dimana dia tidak lain
melainkan hanya menerima saja itu
disebut nasib.
Kesimpulannya
adalah perbedaan takdir dan nasib yaitu terletak dari cara memandangnya. Dari
Allah disebut takdir, dari sisi Zaid disebut Nasib. Maka “kepegawaian negeri”
si Zaid bisa dikatan sebagai takdir Allah, bisa juga disebut nasib si Zaid.
Sedangkan
untuk persamaannya takdir dan nasib yaitu pada namanya “Kepegawaian negerian”.
Maka makna takdir dan nasib berkumpul dalam “Kepegawaian negerian”, ini yang
dimaksud ittihadu al-ma’na, ikhtilaf fi
al-i’tibar.
Untuk lebih
jelasnya, disebutkan dalam lisanu
Al-‘Arab, juz ke VI halaman 383,
Telah berkata Abu Mansur : Allah menakdirkan
akan mahluk yaitu Allah memudahkannya akan tiap-tiap satu daripada mereka, bagi
apa yang telah diketahuinya bahwa mereka akan menjadi begitu. Jelasnya bahwa
Allah telah mengetahui mereka sebelum Allah menjadikan mereka, maka menetpkan
ilmu-Nya yang tak mempunyai permulaan yang terdahulu pada mereka dan
ditakdirkannya menurut kadar tertentu.
Abu Mansur
pula dalam kitab yang sama pada juz ke II halaman 258 mengatakan :
Nasib
artinya bagian dari tiap-tiap sesuatu.
0 Response to "Perbedaan Takdir dan Nasib"
Posting Komentar